Cari Makan

“cari makanan halal disana gampang ga kres?”

Sebuah pertanyaan yang terlontar saat ngobrol dengan teman seangkatan seinstansi dari Pulau Borneo. Jika kita melihat di televisi ada acara mengenang sekian hari berpulangnya UJe, ya selama itu pula kami telah berada di tanah rantau. Memang, sehari sebelum Ustadz yang dikenal dengan julukan Ustadz Gaul itu dikabarkan meninggal, kami seangkatan sudah harus setor muka ke tempat baru, penempatan pertama. Saling cerita dan tukar kabar menjadi kegiatan yang hampir rutin dilakukan setiap hari, tambah lagi saat ini sudah banyak aplikasi yang membuat jarak seolah tak berarti.

Berbicara tentang kabar dan makanan, pertanyaan tersebut menjadi unik karena ditanyakan oleh seorang teman yang berbeda keyakinan dengan saya. Kok bisa dia tanya hal seperti itu. Dia saja masih peduli dengan kondisi temannya, masa’ saya tidak dengan sesuatu yang sebenarnya menjadi kewajiban saya.

Perkara makanan halal sebenarnya tidak bisa dilihat hanya dari dzat asalnya tetapi juga harus dilihat dari cara mendapatkan dan proses pengolahannya. Dua poin terakhir ini yang acap kali luput dalam perhatian kita. Sering kali hanya tahu bahan dasarnya halal, kita sudah semangat melahap apa yang tersaji tanpa tahu dari mana atau bagaimana makanan itu diperoleh. “yang penting kenyang”, sering jadi alasan.

Satu kasus yang sering terjadi dalam masa-masa kami saat ini adalah traktir mentraktir dari senior kepada junior. Traktiran bukanlah sesuatu yang salah apalagi haram. Namun, alasan dan sumber traktir ini yang kadang perlu kita cermati. Selidik punya selidik, cara traktir ini bisa menjadi salah satu pengkaderan bagi sebuah ‘kelompok’. Seseorang pernah bercerita tentang hidupnya. Ketika ia pernah terjatuh. Semua berawal dari rasa tak enak karena sudah sering di traktir, hingga akhirnya ia berhadapan dengan confilct of interest yang membuat ia harus berpihak karena rasa tak enak itu.

Lain halnya dengan tingkah salah seorang teman yang selalu menanyakan asal muasal atau berkenaan dengan hal apa makanan yang disuguhkan padanya. Bahkan ada orang yang masuk dalam black listnya jika membawa makanan. Karena ia sangat ragu dengan sumber pendapatannya. Haha, mungkin banyak akan berpendapat hal itu kolot, sok suci, dan kuno. Tapi itulah prinsip ia, itulah keyakinannya yang membuat ia bisa bertahan.

Saya teringat salah satu nasihatnya, “Kalo soal makanan, aku hati-hati Dol. Bukan karena aku sudah menjadi orang baik, justru karena aku belum baik. Aku ibadahnya saja masih sangat pas-pasan, belum tentu diterima pula ibadahnya. Apalagi kalo aku masukan benda yang bukan haknya ke dalam tubuh. Astagfirullah. Saya juga mo punya anak bentar lagi, kek mana nanti anak-anakku.”

Bila kita melihat pada sejarah, tentu kita akan ingat kisah Abu Bakar Sidiq Ra. yang menolak makanan dari pelayanannya yang pernah meramal. Juga pada Nasihat Rasulullah kepada Sa’ad Ra. Memang bukan hal yang mudah untuk memunculkan sikap wara’ (kehatian-hatian). Tidak jarang pula kita dibenturkan dalam situasi memilih yang sama-sama tidak enak. Namun, InsyaAllah akan ada pertolongan disetiap detik yang kita niatkan untuk memperbaiki diri. Semoga Allah Ridho dengan kita.

“Ya Rasulullah, doakanlah aku (Saad bin Abi Waqas) agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah.” Jawaban Rasulullah SAW, “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya.” (HR At-Thabrani)

Leave a comment